Pemateri: Ustadz DR. Wido Supraha
Usia 40 tahun adalah usia penting bagi manusia. 40 tahun dalam hitungan
Hijriyah sama dengan sekitar 38 tahun 9.5 bulan dalam hitungan Masehi.
Begitu pentingnya sehingga Allah Swt memasukkan perkara ini di dalam Al-Qur’an Al-Karim.
Maka demikian juga dalam kehidupan Nabi Saw. Mendekati usia 40 tahun,
beliau mulai cenderung melakukan ‘uzlah. Beliau melakukan ikhtila’ di
Gua Hira’, di sebelah Barat Laut Makkah.
Terkadang beliau menyendiri hingga 10 malam, bahkan terkadang sampai
sebulan. Beliau hanya pulang untuk mengambil bekal baru dari rumahnya.
Demikianlah hingga Nabi mendapatkan wahyu pertama.[1]
Nabi Saw suka membawa roti dari gandum dan air sebagai bekal makanan
beliau di Gua Hira, Jabal Nur, yang jaraknya sekitar 2 mil dari Makkah.
Gua itu tidaklah terlalu besar, panjangnya 4 hasta, lebarnya 3/4 hingga 1
hasta. Terkadang ada dari keluarga beliau yang menemaninya.
Sesungguhnya, hasil pemikiran beliau yang mendalam telah memberikan
ruang pemisah yang cukup lebar antara dirinya dan kehidupan
masyarakatnya.
Al-Mubarakfuri menjelaskan bahwa siapapun yang sedang dipersiapkan untuk
menerima urusan yang besar, maka ruhnya harus dibuat kosong dari segala
urusan dunia, dan dari segala kekotoran pemikiran.
Terlebih jika urusan besar itu adalah untuk merubah wajah alam semesta dan sejarah yang menyertainya.[2]
Allah Swt berfirman,
"Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang
ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya
dengan susah payah (pula).
Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga
apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia
berdo’a: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni’mat Engkau yang
telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku
dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan
kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku.
Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”. (Q.S. Al-Ahqaf/46:15)
Do’a tersebut senada dengan do’a yang dilafazhkan oleh Nabi Sulaiman
a.s. saat mengetahui para semut yang berlarian menuju rumah
masing-masing agar tidak terinjak rombongan Nabi Sulaiman a.s.
Sebagaimana firman Allah Swt,
Maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut
itu. Dan dia berdo’a: “Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap
mensyukuri ni’mat Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada
dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau
ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan
hamba-hamba-Mu yang saleh”.
(Q.S. An-Naml/27:19)
Jika kita perhatikan, kegiatan uzlah ini dilakukan Nabi pada saat-saat
puncak kesuksesannya sebagai pengusaha, dan ketinggian derajatnya di
hadapan manusia.
Ibnul Jauzi menggambarkan bagaimana Nabi begitu sibuk berdagang pada masa sebelum kenabian.[3].
Maka dengan ‘uzlah, boleh jadi, ada begitu banyak penyakit yang tidak
dapat dibersihkan kecuali bersama kesendirian manusia hanya kepada Sang
Khalik.
Ini memberikan pelajaran bahwa muhasabatunnafs, introspeksi diri, adalah
bagian dari kesempurnaan perjalanan spiritual seseorang.
Jika kita kaitkan dengan aspek kehidupan Nabi Saw pasca 40 tahun,
terdapat hikmah yang luar biasa, bahwa karya-karya besar untuk Allah Swt
membutuhkan pendidikan di dalam hati, khususnya berawal dari
menghidupkan cinta kepada-Nya (mahabbatullah), karena tiada jihad dan
tadhiyyah tanpa sumber mata air yang terus mengaliri motivasinya.
Maka diantara sarana mahabbatullah ada tafakkur terhadap seluruh
tanda-tanda kebesaran Allah, dan limpahan nikmatNya yang begitu besar.
‘Uzlah atau ikhtila’ ini juga dinamakan dengan tahannuts (dari tahannuf) yang berarti pembersihan diri (tabarrur).
Menurut Ibn Ishaq, ‘Ubaid menjelaskan bahwa Nabi Saw menyendiri selama
sebulan setiap tahunnya, dan seperti itulah bentuk tahannuts yang
dilakukan oleh orang-orang Quraisy di zaman Jahiliyah.[4]
Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyyah, usia 40 tahun adalah usia yang matang,
dan rata-rata para Rasul dibangkitkan menjadi Rasul pada usia
tersebut.[5]
Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyyah, usia 40 tahun adalah usia yang matang,
dan rata-rata para Rasul dibangkitkan menjadi Rasul pada usia
tersebut.[5]
Tingkat kematangan psikologi berada pada puncaknya di usia ini. Bahkan
sebagian ulama mengatakan bahwa terdapat banyak hal dalam penghayatan
agama ini yang tidak dapat dirasakan kenikmatannya, yang tidak menjadi
mudah pelaksanaannya kecuali karena faktor umur dalam hal ini setelah 40
tahun.
Maka jika di umur 40 tahun seseorang masih belum bisa mengendalikan
syahwatnya, maka dikhawatirkan akhir hidupnya adalah akhir dengan
syahwat sebagai pemenangnya.
Disinilah kemudian ‘uzlah menjadi sesuatu yang patut dipertimbangkan
sebagai satu di antara agenda kehidupan manusia pasca usia 40 tahun.
Agama ini tidak menjadikan uzlah yang terus menerus sebagai sebuah
kebaikan, karena dalam kesempatan yang sama agama ini juga mendorong
manusia untuk khulthah (tetap bergaul dan berinteraksi).
Tersampaikannya Hak Allah menjadi prioritas dan target kehidupan
manusia. ‘Uzlah menjadi salah satu jalan keluar dalam pemenuhan hak
Allah.
Memahami cara beragama secara utuh akan menghindarkan kita dalam
berlebih-lebihan dalam sebuah perkara, agar keinginan untuk menjaga agama melahirkan penjagaan agama itu sendiri.
Rasulullah Saw. bersabda,
“Sebaik-baik manusia ketika berhadapan dengan fitnah adalah orang yang
memegang tali kekang kudanya menghadapi musuh-musuh Allah.
Ia menakuti-nakuti mereka, dan merekapun menakut-nakutinya. Atau
seseorang yang mengasingkan diri ke lereng-lereng gunung, demi
menunaikan apa yang menjadi hak Allah”
(HR. Al Hakim 4/446)
Nabi Saw., juga bersabda, “Seseorang bertanya kepada Nabi: ‘siapakan manusia yang paling utama wahai Rasulullah?’
Nabi menjawab: ‘Orang yang berjihad dengan jiwanya dan hartanya di jalan Allah’. Lelaki tadi bertanya lagi: ‘lalu siapa?’.
Nabi menjawab: ‘Lalu orang yang mengasingkan diri di lembah-lembah demi
untuk menyembah Rabb-nya dan menjauhkan diri dari kebobrokan
masyarakat’”
(Muttafaqun ‘alaih: HR. Al Bukhari 7087, Muslim 143)
Namun agama ini juga memerintahkan umatnya untuk bergerak membawa perubahan (agent of change) kepada masyarakat umum.
Nabi Saw. bersabda,
“Seorang mukmin yang bergaul di tengah masyarakat dan bersabar terhadap
gangguan mereka, itu lebih baik dari pada seorang mukmin yang tidak
bergaul di tengah masyarakat dan tidak bersabar terhadap gangguan
mereka”
(HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad No. 388)
Dan serangkaian dalil lainnya yang mendukungnya. Maka memadukan keduanya
adalah bagian dari menghidupkan agama ini. Dakwah membutuhkan motivasi
dan ilmu. ‘Uzlah adalah bagian dari mengisi kembali kapasitas motivasi,
sementara hadir pada majelis ilmu menjadi bagian dari mengisi kembali
kapasitas kefahaman agama.
Dalam bab ini, di masa Nabi Saw belum mendapatkan warisan ilmu kecuali
nanti setelah beliau dibangkitkan sebagai Nabi Saw, maka ilmu turun
terus menerus kepada beliau untuk disampaikan kepada umatnya.
Dr. Musthafa as-Siba’i menjelaskan bahwa khalwat yang benar akan
mengajaknya untuk bermuhasabah terhadap dirinya jika jiwanya teledor
dalam kebaikan, pandangannya menyimpang, melenceng dari jalan hikmah,
keliru dalam sistem, atau terlena bersama manusia di dalam
berbantah-bantahan dan perdebatan, sehingga ia lupa mengingat Allah,
lupa mengingat Akhirat, lupa Surga dan Neraka-Nya, lupa mengingat
kematian, lupa akan dahsyat dan sengsaranya kematian.
Maka khalwat dalam pengertian tahajjud dan qiyamullail menjadi kewajiban
bagi Nabi Saw, sementara sunnah bagi selainnya. Ia menjadi kebutuhan
para pengemban dakwah kepada Allah, syariat dan surga-Nya, karena di
dalamnya terdapat suatu kenikmatan yang tidak diketahui kecuali oleh
orang yang Allah beri kemuliaan dengan kenikmatan tersebut.[6]
Allah Swt berfirman, “Hai orang yang berselimut (Muhammad), Bangunlah
(untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu)
seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit. Atau lebih dari
seperdua itu. Dan bacalah Al Qur’an itu dengan perlahan-lahan.
Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat.
Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk)
dan bacaan di waktu itu lebih berkesan.” (Q.S. Al-Muzzammil: 1-6)
Maraji’:
1] Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthy, Fiqh as-Sirah: Dirasat Minhajiah
‘Ilmiyah li-Shirat al-Musthafa ‘alaihishshalatu wa salam, Libanon: Darul
Fikr, 1977
2] Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Ar-Rahiq al-Makhtum, Bahtsum fi
As-Sirah an-Nabawiyah ‘ala Shahibiha afdhalish-Shalati wassalam, Riyadh:
Darussalam, 1414H
3] Ibnul Jauzi, Al-Wafa bi Ahwali al-Musthofa, Beirut: Maktabah al-‘Ashriyah, 2004
4] Ibn Ishaq, As-Sirah An-Nabawiyah
5] Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Zaad al-Ma’ad, Dar at-Taqwa lil Nasyr wa at-Tauzi’, 199
6] Musthafa as-Siba’i, As-Sirah An-Nabawiyah, Kairo: Dar as-Salam, Cet. I, 1998
[ iman - islam ]
Misteri Usia 40 Tahun
Written By PEJUANG SUBUH KOTA BEKASI RAYA on Minggu, 24 Januari 2016 | 20.15
Related Articles
