Oleh: Dr. Saiful Bahri, M.A
Sebaliknya, ”adapun orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah
kirinya, maka dia berkata: “Wahai alangkah baiknya kiranya tidak
diberikan kepadaku kitabku (ini). Dan aku tidak mengetahui apa hisab
terhadap diriku. Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala
sesuatu. Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku. telah
hilang kekuasaanku daripadaku.” (QS. 69: 25-29)
Sebuah prediksi yang salah. Jika pada saat mereka di dunia, harta dan
kekuasaan sangat mereka banggakan. Tapi keduanya tak lagi mendatangkan
manfaat saat hari penghitungan amal dilakukan. Akibatnya mereka pun
menanggung malu yang luar biasa saat buku catatan amal dibagikan.
Apalagi mereka menerimanya dengan tangan kiri, atau bahkan dilempar.
Keduanya merupakan pertanda yang tidak baik. Bahkan buruk kesudahannya.
Bahkan mereka berharap cepat mati dan takkan dibangkitkan lagi ([8]).
Kata al-qâdhiyah adalah kematian atau kemusnahan yang tidak ada
kehidupan lagi sesudahnya. Padahal ketika di dunia mereka berharap untuk
hidup selamanya dan sangat takut dengan kematian.
”Peganglah dia lalu belenggulah tangannya ke lehernya. Kemudian
masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala. Kemudian
belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta” (QS. 69:
29-32)
Khusus penyebutan kata ”70 hasta”, Ibnu Abbas memiliki penakwilan. Bagi
orang arab ketika mengambarkan jumlah yang banyak dengan bilangan 70.
Sedangkan Abu Hayyan mengatakan, bilangan tersebut bisa saja benar
seperti itu, atau hasta malaikat atau hanya sekedar untuk mubalaghah
seperti yang dikatakan Ibnu Abbas ([9]).
Selama di dunia mereka telah melakukan dua buah jenis ”khati`ah”. Satu
kesalahan terhadap Allah dengan mendustakan-Nya. Dan satu lagi kesalahan
terhadap sesamanya. Bakhil dan menyebarkan kebakhilan.
”Sesungguhnya dia dahulu tidak beriman kepada Allah yang Maha Besar. Dan
juga dia tidak mendorong (orang lain) untuk memberi makan orang
miskin”. (QS. 69: 33-34)
Orang yang tak beriman pada Allah segala amal kebaikannya yang lain pun
akan menjadi sia-sia. Demikian sebaliknya, orang yang mengaku beriman
pada Allah tapi perilaku sosialnya sangat buruk, seperti menyakiti dan
tidak menolong kaum fakir miskin, maka sama saja seperti orang munafik
yang mendustai keyakinannya dengan berpura-pura.
Maka orang yang ideal adalah orang yang menggabungkan kedua unsur
kebaikan di atas, yaitu kebaikan vertikal ( hablum minalLâh), dan
kebaikan horizontal (hablum minannâs).
Al- Qur’an Sebagai Wahyu dan Pedoman Hidup
Untuk sebuah pengukuhan, tidak tanggung-tanggung Allah bersumpah dengan
segala ciptaan-Nya yang ada. Baik yang bisa dilihat manusia ataupun yang
tidak nampak oleh kasad mata.
”Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat, dan dengan apa yang
tidak kamu lihat. Sesungguhnya Al Quran itu adalah benar-benar wahyu
(Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia”. (QS. 69: 38-39)
Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan kisah Umar bin Khattab ketika sedang
mengintai Nabi Muhammad yang sedang shalat di depan ka’bah ([10]). Saat
beliau membaca al-Qur’an Umar membatin ini adalah perkataan seorang
penyair. Nabi Muhammad membaca ayat ke-41.
”Dan Al Quran itu bukanlah perkataan seorang penyair. sedikit sekali kamu beriman kepadanya”
Umar tersentak. Kemudian dia berpikir Muhammad adalah tukang tenung yang
tahu pikiran manusia. Nabi Muhammad melanjutkan ayat berikutnya.
”Dan bukan pula perkataan tukang tenung. sedikit sekali kamu mengambil pelajaran daripadanya”
Umar terdiam. Benih-benih hidayah mulai bersemai dalam hatinya. Dan
akhirnya kita mengetahui kisah keislamannya setelah sebelumnya
menggerebek kediaman adiknya, Fatimah yang sedang belajar al-Qur’an dan
Umar kemudian menangis setelah Fatimah membacakan surat Thâha.
Karena memang, ”Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam”
(QS. 69: 43) dan wahyu tersebut merupakan pedoman bagi para manusia.
Bahkan, Allah pun memberi ancaman jika Nabi Muhammad mengada-ada dan
mengatakan apa yang bukan diwahyukan Allah sebagai wahyu-Nya.
”Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama)
kami. Niscaya benar-benar kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian
benar-benar kami potong urat tali jantungnya” (QS. 69: 44-46)
Dan hanya orang yang mendapat hidayah saja yang mampu menjadikan
al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya. ”Dan Sesungguhnya Al Quran itu
benar-benar suatu pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa” (QS.69: 48).
Allah juga Maha Tahu bahwa pasti selalu ada di antara makhluk-Nya yang
mendustakan risalah-Nya. Tapi kelak semua itu berujung penyesalan yang
tak tergambarkan. ”Dan Sesungguhnya kami benar-benar mengetahui bahwa di
antara kamu ada orang yang mendustakan(nya). Dan Sesungguhnya Al Quran
itu benar-benar menjadi penyesalan bagi orang-orang kafir (di akhirat)”.
(QS. 69: 49-50)
Penutup: Bertasbihlah; Raihlah Prestasi
Kembali Allah mengingatkan kita untuk bertasbih kepada-Nya di akhir
surat ini. ”Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Maha
besar” (QS. 69: 52). Karena tasbih sebagai bentuk pengakuan terhadap
kebesaran Allah yang menurunkan Al-Qur’an sekaligus sebagai penyucian
diri dari kealpaan, kelalaian dan akan semakin menjadikan Allah
bersimpati dan menyayangi kita.
Semoga kita dapat menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman dan pelajaran
sehingga hidup kita makin terarah mendekat kepada ridho dan cinta-Nya.
Amin.
—————————————————————————-
([1]) kata al-Hâqqah hanya disebut tiga kali dalam surat ini saja
(lihat: Prof. Dr. Jum’ah Ali Abd Qader, Ma’alim Suar al-Qur”an, Cairo:
Universitas Al-Azhar, Cet.I, 2004M/1424H, Vol. 2, hal. 695)
([2]) Sebagaimana disebutkan Imam Ibnu Jarir ath-Thabary dalam tafsirnya
Jâmi’u al-Bayân, Beirut: Dar Ihya Turats al-Araby, Vol. XXIV, hal. 58.
Juga disebut oleh Imam al-Qurthuby (al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an, Cairo:
Darul Hadits, Vol. IX, hal.468)
([3]) Syiekh Muhammad Ali ash-Shabuny, Ijazu al-Bayan fi Suar al-Qur’an, Cairo: Dar Ali ash-Shabuny, 1986 M/1406 H, hal 257-258
([4]) sebagaimana pendapat Ibnu Abbas, dan muridnya Qatadah (lihat: Imam
al-Baghawy, Ma’alim at-Tanzil, Cairo: Dar al-Kutub al-Ilmiah, Cet.I,
2004 M/1424 H, Vil. IV, hal.355)
([5]) Imam Ibnu Katsir, Tasfir al-Qur’an al-’Azhim, Cairo: al-Maktabah al-Qayyimah, Vol.IV, hal. 535
([6]) Seperti pendapat Imam Ath-Thabary, al-Wahidy, al-Baghawy,
al-Qurthuby, dan al-Alusy (lihat: tesis penulis,Kitab Lawami’ al-Burhan
wa Qawathi’ al-Bayan fi-Ma’any al-Qur’an, Cairo: Universitas Al-Azhar,
Vol. II, hal. 695)
([7]) Lihat ayat 37 (Surat al-Hâqqah)
([8]) lihatlah harapan mereka yang direkam Allah dalam ayat 27.
([9]) Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf, Tasfir al-Bahr al-Muhith, Beirut:
Darul Kutub al-Ilmiyah, Cet.I, 2001 M/1422 H, Vol.VIII, 320
([10]) Imam Ibnu Katsir, Op.Cit, Vol. IV, hal 540-541
Dipersembahkan:
Majelis Iman Islam
Sebarkan! Raih pahala...
Tadabbur QS. Al-Haqqoh (Bag.2)
Written By PEJUANG SUBUH KOTA BEKASI RAYA on Senin, 11 Januari 2016 | 22.51
Related Articles
Label:
Kajian Islam,
syiar
